Nama saya Tahmil. Sehari-hari, saya mengabdikan diri sebagai guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) sekaligus memegang amanah sebagai Kepala Madrasah di MTs Al-Abrar Panggala, sebuah madrasah yang saya rintis sejak 2018. Tahun 2025 menjadi babak baru dalam perjalanan saya sebagai pendidik, saat nama saya tercatat sebagai mahasiswa PPG Dalam Jabatan di UIN Alauddin Makassar, Rombel 5, Batch 3.
Sebelum memulai, benak saya sudah dipenuhi oleh "horor" cerita dari rekan-rekan senior. Kata mereka, PPG adalah medan tempur digital yang menguras waktu, tenaga, dan pikiran. Frasa seperti "stand by depan monitor," "zoom tanpa henti," "resume modul bertumpuk," dan "video pembelajaran yang perfeksionis" sudah seperti mantra yang membayangi saya. Keraguan pun mulai tumbuh. Mampukah saya, seorang kepala madrasah dengan segudang tugas, menjalani maraton digital yang begitu berat ini?
Hari pertama pun tiba. Zoom orientasi dimulai, dan semua keraguan saya seakan menemukan pembenarannya. Panitia dan dosen memaparkan alur kegiatan dengan rentetan istilah yang terasa asing di telinga saya: LMS, UKIN, try out, induksi. Kepala saya pening. Kontrak belajar yang ditampilkan di layar laksana jadwal kereta super padat yang tak memberi ruang untuk bernapas. Semua sudah terpatri, dari hari pertama hingga hari terakhir. Kewajiban memantau setiap saat terasa begitu mengikat.
Dunia digital saya pun terbelah menjadi dua. Pertama, grup WhatsApp resmi yang berisi Kaprodi dan para dosen dan seluruh peserta rombel 5. Grup ini sunyi, terkunci, dan informasinya mengalir satu arah. Setiap notifikasi darinya terasa seperti perintah yang harus segera dilaksanakan. Kaku dan formal.
Namun, ada satu dunia lagi: grup WhatsApp kedua. Grup "ilegal" tanpa dosen dan Kaprodi, hanya kami, para mahasiswa, dan dua orang ketua kelas yang berinisiatif membuatnya. Di sinilah, di ruang digital yang lebih bebas inilah, perjalanan saya yang sesungguhnya dimulai.
Awalnya, saya hanya menjadi pengamat pasif. Namun, perlahan saya menyadari sesuatu yang luar biasa. Grup ini adalah miniatur Indonesia. Ada rekan dari Aceh dengan logatnya yang khas, ada dari Jawa yang santun, ada dari Kalimantan yang bersemangat, hingga dari Propinsi lain yang penuh canda. Kami terpisah oleh ratusan bahkan ribuan kilometer, namun disatukan oleh nasib yang sama: mahasiswa PPG Rombel 5 yang sama-sama pusingnya.
Di grup inilah saya menemukan keajaiban. Ketika ada yang ketinggalan informasi penting dari grup resmi, belasan orang serentak mengirimkan ulang. Ketika seseorang bingung dengan tugas resume modul, yang lain segera membagikan tips dan contoh tanpa diminta. Saat ada yang panik karena aplikasi LMS-nya bermasalah di tengah malam, selalu ada "kawan begadang" yang siap membantu.
Tidak ada kata "pelit ilmu." Tidak ada yang mengomel atau menyalahkan jika ada yang bertanya pertanyaan yang mungkin terdengar sepele. Kalimat yang paling sering muncul adalah, "Tenang, Pak. Kita kerjakan sama-sama," atau "Saya juga bingung, Bu. Ayo kita cari solusinya bareng."
Puncak dari rasa persaudaraan ini saya rasakan saat tugas pembuatan video pembelajaran tiba—tugas yang paling saya takuti. Saya, yang gagap teknologi, merasa mustahil bisa menghasilkan video yang sesuai standar RPP dan modul. Belum lagi kegelisahan rekan-rekan di grup. Respons yang mereka dapatkan sungguh di luar dugaan. Ada yang menawarkan aplikasi edit video yang mudah digunakan, ada yang membagikan tautan tutorial, bahkan ada rekan dari pulau seberang yang bersedia melakukan video call untuk memandu satu sama lain langkah demi langkah.
Beban yang tadinya terasa seberat gunung di pundak saya, perlahan terangkat. Saya tidak lagi merasa sendirian. Tugas-tugas yang menumpuk bukan lagi momok, melainkan proyek kolaborasi sebuah keluarga besar. Kami mungkin belum pernah bertatap muka, bahkan mungkin tidak akan pernah bertemu seumur hidup, tetapi ikatan kami lebih erat dari sekadar teman sekelas. Kami adalah kawan seperjuangan.
Dari sinilah saya memetik pesan moral yang mendalam. PPG Dalam Jabatan ternyata bukan hanya tentang mengasah kompetensi pedagogik dan profesional. Ini bukan sekadar tentang penguasaan teknologi atau penyelesaian tugas tepat waktu.
Pelajaran paling berharga dari PPG ini adalah tentang kemanusiaan. Tentang bagaimana teknologi, yang seringkali dianggap menjauhkan yang dekat, justru mampu menyatukan kami yang jauh. Pelajaran tentang empati, tentang menempatkan diri pada posisi orang lain yang sedang kesulitan. Dan yang terpenting, pelajaran tentang kekuatan solidaritas.
Bahwa di tengah tuntutan profesionalisme yang ketat, ada ruang untuk saling merangkul, saling menopang, dan saling menguatkan. Rombel 5 UIN Alauddin Makassar telah mengajarkan saya bahwa guru profesional tidak hanya dibentuk oleh modul dan sertifikat, tetapi juga oleh hati yang mau berbagi dan semangat kebersamaan yang tulus. Perjuangan ini memang berat, tetapi karena dijalani bersama "Keluarga Sabang-Merauke" saya, semuanya terasa lebih ringan dan penuh makna.
Demikian ceritaku sebagai Mahasiswa PPG, semoga memberi makna.






0 komentar:
Posting Komentar