Di tengah padatnya jadwal dan tekanan persiapan try out Pendidikan Profesi Guru (PPG) Dalam Jabatan 2025, kami, para mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam UIN Alauddin Makassar, mencari cara untuk tetap terhubung dan saling menguatkan. Sebuah panggilan video dengan ketua kelas kami, Bapak Munawir dari Bone, menjadi salah satu inisiatif untuk menyatukan pikiran dan strategi.
Namun, di antara seriusnya diskusi, perhatian saya justru teralih pada sebuah pemandangan hangat di latar belakang layar beliau. Sesosok perempuan berdaster, yang ternyata adalah istri tercintanya, tampak sibuk namun sigap. Dengan cekatan, ia sesekali memeriksa monitor, seolah menjadi asisten pribadi yang memastikan tidak ada informasi penting di grup WhatsApp yang terlewat.
Momen yang paling menyentuh adalah ketika Pak Ketua, dengan begitu santai dan natural, meminta bantuan istrinya untuk membalas salah satu pertanyaan di grup. Tidak ada keraguan, tidak ada jeda canggung; yang ada hanyalah sebuah kerja sama yang mengalir tulus. Pemandangan itu seolah membuka tabir, menunjukkan sebuah dinamika keluarga yang luar biasa.
Seketika saya sadar, saya tidak hanya sedang melihat pasangan suami-istri, tetapi sebuah tim yang solid. Saya menyaksikan kolaborasi indah yang membuktikan bahwa keluarga bukanlah sekadar pelengkap status, melainkan sahabat sejati dan rekan kerja terbaik. Keharmonisan yang terpancar dari interaksi sederhana itu hanya mungkin terjadi jika dilandasi oleh rasa saling menghargai dan mendukung yang mendalam.
Di tengah perjuangan akademis kami, pelajaran paling berharga hari itu tidak datang dari modul, melainkan dari secuil adegan kehidupan nyata. Bahwa di balik setiap individu yang berjuang, ada sebuah sistem pendukung tak ternilai yang bekerja dalam sunyi. Dan itulah makna keluarga sesungguhnya.
.jpeg)






0 komentar:
Posting Komentar