Pagi hari bagi seorang guru madrasah adalah simfoni kesibukan yang tak pernah sumbang. Sebelum tenggelam dalam rutinitas mengajar dan tugas-tugas Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang menyita energi dan pikiran, ada ritual kecil yang tak boleh terlewat: menyapa keluarga di meja makan, melepaskan ayam dari kandang, hingga memastikan kambing di kebun belakang tidak kabur ke ladang tetangga. Di tengah riuh itu, gawai menjadi sahabat setia—jendela dunia yang menghubungkan para pejuang ilmu dalam grup WhatsApp PPG yang saat itu sedang “panas-panasnya” membahas tugas dan keluh kesah.
Awalnya, grup itu tampak biasa saja—formal, kaku, dan sopan seperti ruang ujian. Namun seiring waktu, batas-batas keseriusan mulai mencair. Emoji tawa mulai muncul, stiker lucu berseliweran, dan obrolan ringan menciptakan kehangatan yang membuat perjalanan PPG terasa lebih manusiawi. Dalam keriuhan digital itu, muncul satu nama yang mencuri perhatian: Bapak Sandi.
Interaksi pertama kami cukup sederhana. Beliau dengan sopan meminta izin memuat salah satu tulisan saya di media yang ia kelola. Namun, rasa penasaran mulai tumbuh—siapakah sosok di balik nama ini? Sebuah panggilan suara via WhatsApp pun menjadi awal dari kisah yang tak akan saya lupakan. Dari ujung sambungan itu, terdengar suara ramah seorang guru Sejarah Kebudayaan Islam asal Jeneponto, yang kini mengabdi di sebuah pondok pesantren di Masamba. Ternyata, di balik sosok pendidik itu tersembunyi pengalaman panjang di dunia kehumasan dan jurnalistik. Pembicaraan pun mengalir hangat, dari dunia tulis-menulis hingga curahan hati tentang pahit manisnya mengikuti PPG.
Hingga akhirnya, tawa kami meledak saat Bapak Sandi menceritakan sebuah “tragedi digital” yang konyol sekaligus legendaris—ia terlempar dari grup WhatsApp inti PPG. Bayangkan saja, lima hari penuh ia “terisolasi” dari informasi penting, seperti murid yang tertinggal di luar kelas sementara guru sudah menutup pintu.
Setelah perjuangan panjang menghubungi admin dan ketua kelas, akhirnya ia berhasil kembali ke grup utama. Namun, kisah belum selesai. Dalam semangat memulihkan keadaan, ketua kelas berniat menambahkan kembali nomor beliau ke grup rombel. Sayangnya, alih-alih memasukkan nomor Pak Sandi, yang dimasukkan justru nomor istrinya! Jadilah sang istri yang sah bergabung di grup PPG, sementara suaminya malah “dibuang” karena dianggap nama asing—maklum, di profil WhatsApp-nya hanya tertera nama pena, bukan nama asli.
Malam itu, ketika ketua kelas melakukan absen rutin, nama “Sandi” tak muncul di daftar. Karena sudah terlanjur lelah dan cepat tidur, beliau baru tahu keesokan paginya bahwa dirinya resmi “dikeluarkan”. Dengan panik, ia membuka kembali chat grup Santuy, namun layar hanya menampilkan tulisan pahit: “Anda bukan lagi anggota grup ini.”
Upaya klarifikasi pun dimulai. Beliau menghubungi ketua kelas, Pak Munawwir, dan admin grup, Ibu Nurhelila, dengan sopan dan penuh harap. Namun, tanggapan yang didapat justru bikin nyesek—tidak direspons! Ia bahkan sempat dijuluki “Peserta Siluman” karena keberadaannya di daftar hadir tak bisa diverifikasi. Dalam keputusasaan yang kocak, beliau pasrah, sementara sang istri yang bingung bertanya, “Pak, kenapa saya malah ada di grup PPG? Saya kan bukan pesertanya!” Di situlah rahasia besar akhirnya terungkap.
Puncak kelucuan terjadi saat sesi Zoom pertama. Dosen pengampu dengan wajah penuh tanda tanya menghitung jumlah peserta yang lebih banyak dari seharusnya. “Lho, kok jumlahnya lebih? Jangan-jangan ada peserta siluman di sini,” ujarnya heran. Sontak, Bapak Sandi yang mendengar itu hanya bisa menahan tawa, menutup mulut agar tidak terdengar mikrofon. Dalam hati ia bergumam, “Betul, Pak Dosen, dan silumannya itu istri saya sendiri!”
Untungnya, drama ini berakhir dengan bahagia. Berkat kecekatan ketua kelas yang “gercep” layaknya admin profesional, Bapak Sandi akhirnya dipulihkan ke posisinya yang semestinya. Grup WhatsApp pun kembali normal, dan nama beliau resmi terdaftar tanpa bayangan sang istri yang sempat “nyasar” di antara para peserta.
Kini setiap kali grup itu membahas tugas berat atau deadline yang bikin pusing, kisah “peserta siluman” selalu muncul sebagai bahan tawa. Ia menjadi legenda kecil di antara peserta PPG—sebuah bukti bahwa di balik keseriusan akademik, ada ruang bagi tawa dan kekonyolan manusiawi yang justru mempererat persaudaraan.
Dari kisah lucu itu, kita belajar bahwa dunia digital tak selalu rasional. Sekali salah tekan tombol, kehidupan sosial bisa jungkir balik. Tapi di balik semua itu, ada hikmah yang lembut: pentingnya komunikasi yang jernih dan rasa humor yang menyelamatkan suasana hati. Tanpa tawa, mungkin PPG hanya akan terasa seperti maraton tanpa garis akhir.
Dan bagi para peserta PPG lainnya, kisah ini adalah pengingat: jangan pernah remehkan pentingnya nama profil WhatsApp. Karena siapa tahu, satu nama pena bisa membuatmu “hilang dari radar” dan digantikan oleh pasangan hidupmu sendiri! Setidaknya, jika itu terjadi, pastikan istrimu bisa mengerjakan tugas refleksi dan upload LMS dengan lebih cepat.








0 komentar:
Posting Komentar